10.07.2008

Bahasa Indonesia Bahasa Kita Semua

Dua hari lalu tak sengaja melihat tayangan di Metro TV hal pemakaian bahasa Indonesia. Segera batin saya berujar : "Oh ya..ini kan bulan Oktober, berkaitan dengan memperingati Hari Sumpah Pemuda mestinya juga dikaitkan dengan bunyi Sumpah Pemuda itu sendiri." Intinya, ingin mengingatkan kita semua betapa selama ini ternyata belum mampu bertutur dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahkan lebih jauh dari itu, semakin banyak bahasa asing yang digunakan dalam kalimat sehari-hari. Lebih parah lagi, seperti dikatakan Bapak Anton Moelyono, bangsa Indonesia sesungguhnya belum siap menerima terjadinya arus globalisasi. Ada juga yang menyebutkan, kalau tak salah Roy Marten, bahasa Indonesia miskin idiom.
Tentu saja,harus diakui selama ini pun kita memang belum mampu bertutur dan menulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahkan, menurut saya, cenderung mengabaikan kaidah bahasa Indonesia. Orang-orang yang diwawancara pun menyebutkan bahwa bahasa Indonesia baik dan benar itu lebih penting diterapkan terlebih dahulu oleh para pejabat negara, para pendidik, para intelektual. Wah...puyeng.
Saya amat sangat mencintai bahasa Indonesia. Seringkali merasa risih juga jika dalam suatu forum resmi, ada saja pejabat yang berujar dengan memakai campuran "coro Inggris". Seolah-olah tak ada padanan kata yang tepat untuk disampaikan.
Bicara bahasa gaul? Wah... boleh jadi anak-anak muda akan lebih suka memakai bahasa gaul ketimbang berbahasa Indonesia yang benar. Canggungkah atau gengsikah?
Mungkin merasa kurang "keren" jika tidak bercampur dengan bahasa asing. Atau agar disebut "modern"?
Sebagai ibu rumahtangga dan sedang belajar menulis, tentu saja ini merupakan PR tersendiri. Sepertinya tak ada gunanya menunding siapa yang salah dalam hal penyebaran bahasa gaul atau masuknya idiom2 asing dalam kancah pembicaraan ataupun isi pidato pejabat A atau B. Simak juga berbagai macam tayangan sinetron yang sehari-hari muncul di berbagai kanal TV dengan bahasa yang "acak-adul"??!!??
Benarkah kita seperti yang disebut Pak Anton, kurang siap menghadapi arus globalisasi? Ataukah kita sendiri yang sudah semakin luntur rasa nasionalisme, rasa cinta bahasa "dewek"? Semua terpulang kepada diri masing-masing.
Tentu saja ini menjadi bahan renungan kita bersama, setelah 100 tahun Kebangkitan Nasional, sudahkah kita mencintai Bahasa Indonesia. Karena Bahasa mencerminkan Bangsa. Maukah kita menjadi bangsa yang hanya menjadi pengekor bangsa lain dan tidak menghargai bahasa sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sobat Bunda semua, terimakasih sudah bersedia meninggalkan komentar. Mau nyampein kritik juga boleh... Monggo tak perlu ragu-ragu.
Jika ada kekeliruan, mohon dimaafkan yaaa